Platform berita dan informasi terpercaya untuk pemuda Indonesia. Temukan inspirasi, kegiatan, dan peluang pengembangan diri.
Jelajahi SekarangApa yang terlintas di benak ketika mendengar pekerja seks? Mayoritas secara awam spontan biasanya mengambil justifikasi yang mengarah pada sikap isi, atau setidaknya menganggap mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks adalah manusia-manusia “kotor”, atau penilaian-penialaian lain yang intinya bernada negatif.
Terlepas dari setuju dan tidak setuju dengan profesi pekerja seks, sudah pasti banyak variabel dan perspektif yang dapat menjelaskan apa sebab orang memilih pekerjaan tersebut sebelum kita buru-buru mengambil kesimpulan tunggal.
Dalam satu cerita film berjudul Gangubai Kathiawadi yang diambil dari kisah nyata. Dikisahkan pada dekade 60an, di wilayah yang bernama Katihar, India, ada seorang gadis muda cantik dan rupawan yang bermimpi menjadi bintang film.
Namun ia justru terjebak di dunia prostitusi sebagai pekerja seks, namun di kemudian hari pekerja seks tersebut berubah menjadi pahlawan bagi ribuan perempuan.
Dia adalah gadis yang dikenal dengan nama Ganga, seorang anak dari pengacara terkenal saat itu, mimpinya menjadi bintang film begitu besar. Sampai pada satu kisah, ia diajak oleh kekasihnya untuk hijrah ke kota Mumbai demi mewujudkan mimpinya tersebut, tanpa memberitahu orang tuanya.
Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, Ganga si gadis muda justru dijual oleh kekasihnya kepada seorang mucikari di salah satu rumah bordil yang ada di wilayah Kamathipura, Mumbai.
Ganga, pada awalnya merasa hancur dan sakit, terutama ketika mengingat apa yang telah dilakukan oleh kekasih yang ia cintai. Mimpi menjadi bintang film sirna sudah, hari-hari awal ia hanya bisa menyamakan bagaimana nasibnya ke depan, apa yang harus ia jelaskan kepada orang tuanya kelak, dan segudang pertanyaan gelisah lainnya.
Sampai kemudian, ia mulai menerima kondisinya dan mencoba “membiasakan” diri bekerja sebagai pekerja seks untuk melayani para tamu di tempat ia bekerja.
Tibalah pada suatu hari, ia mendapat seorang tamu bernama Govind. Dari sini lah, seorang Ganga yang lugu berubah dalam sekejap menjadi Gangu yang berani dan tegas, nama itu diberikan oleh Govind.
Sejak saat itu, Ganga berubah menjadi Gangu dan selalu mengingat kata Govind bahwa suatu hari, Gangu akan menjadi penguasa di Kamathipura.
Hari demi hari ia lalui, nama Gangu semakin ia asosiasikan pada dirinya sebagai manisfestasi dari impian baru untuk bangkit dan menguasai wilayah tersebut.
Gangu terus menerus melakukan transformasi, ia membangun jejaring baik di tingkat akar rumput dengan mengorganisir dan menggalang kekuatan seluruh perempuan terutama para pekerja seks untuk berjuang bersama-sama menegakan keadilan yang telah direnggut dari diri mereka.
Di level elite, ia juga berupaya menggalang dukungan dari tokoh-tokoh, bahkan mafia yang ada di Kamathipura agar mau memberikan sumber daya mereka untuk gerakan yang sedang dibangunnya.
Kesadaran untuk terus berjuang menegakan keadilan begitu besar, Gangu merasa sakit dan tidak adil ketika mendapati anak-anak yang lahir dari seorang ibu pekerja seks “tidak boleh” mengenyam pendidikan yang layak, hanya karena mereka dianggap sebagai manusia kotor.
Terlebih lagi, profesi sebagai pekerja seks sama sekali tidak memiliki kesamaan hak dengan profesi yang lain, tidak ada aturan jam kerja, aturan cuti, jaminan sosial, dan lain-lain seolah tidak penting untuk diperoleh mereka. Akibatnya, mereka tidak hanya dianggap sebagai manusia kotor, namun mereka juga sangat rentan terhadap kematian.
Hal-hal seperti itu yang menjaga semangat Gangu dalam berjuang, Gangu tidak hanya berani, namun juga cerdas dalam menyusun strategi perjuangannya.
Sampai kemudian nama Gangu bertambah menjadi Gangubai, yang berarti seorang perempuan bernama Gangu yang cerdas, berani dan pantang menyerah dalam memperjuangkan nasib perempuan pekerja seks, korban perdagangan manusia, dan semua perempuan tertindas lainnya yang ada di Mumbai.
Singkatnya, perjuangan Gangubai berhasil, selain ia terpilih sebagai pemimpin di Kamathipura, ia juga mendapat dukungan dari Perdana Menteri bahwa pemerintah India setuju untuk memberikan hak-hak sebagaimana mestinya kepada para pekerja seks.
Apa yang dilakukan Gangubai, tidak hanya sebatas perjuangan politik semata, namun ia juga berupaya melawan stigma sosial yang melekat pada mereka sebagai pekerja seks. Yakni stigma kotor, tidak benar, bejad dan lain sebagainya, maka dengan apa yang telah dicapai Gangu, stigma tersebut juga mulai luntur dan bergeser pada konsep kesamaan atas hak itu sendiri.
Oleh karena itu, menarik ketika melihat kisah Gangubai ini dalam perspektif teori kekuasaan dan pengetahuan ala Foucault.
Pertama, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan itu saling terkait, maka dalam konteks Gangubai, ia berjuang melawan sistem yang menindas perempuan terkhusus mereka yang terlibat dalam prostitusi.
Gangubai sendiri, menggunakan pengetahuannya tentang seluk beluk dunia pelacuran dan struktur sosial untuk mendapatkan kekuatan dan pengaruh, sehingga terkisahkan dalam film nya dimana ia berhasil mendapatkan hal itu.
Kedua, Gangubai sebagai subjek yang pada mulanya adalah seorang gadis muda yang terjebak dalam situasi dan kondisi yang tidak ia inginkan, namun melalui pengalaman dan perjuangannya, ia berhasil membentuk identitasnya sendiri sebagai seorang pemimpin dan pejuang.
Dalam hal ini, karena meminjam Foucault, Gangubai telah berhasil menjadikan pengetahuan dan pengalamannya sebagai sumber kekuatan yang membantu meraih posisi kuat.
Ketiga, tampak jelas bahwa Gangubai benar-benar menggunakan pengetahuannya sebagai senjata. Ia menggunakan seluruh pengetahuannya untuk melawan otoritas, termasuk polisi dan politisi.
Gangubai memanfaatkan hubungan yang dibangunnya dengan elemen-elemen lain untuk melindungi dan memperjuangkan perempuan. Ini menciptakan bentuk kekuasaan yang berbasis pada pengetahuan yang dimiliki, yang memungkinkan ia mengubah stigma sosial yang ada.
Keempat, dalam pandangan Foucault, ia juga membahas tentang bagaimana norma-norma sosial terbentuk dan dipertahankan. Maka dalam konteks Gangubai, ia berani melawan norma-norma yang menganggap pekerja seks sebagai individu kotor dan tak bermoral.
Dengan memperjuangkan hak-hak mereka, Gangubai menantang pandangan masyarakat yang normatif dan berusaha mengubah cara pandang terhadap perempuan yang berprofesi sebagai pekerja seks tersebut.
Oleh karena itu, dalam perspektif teori kekuasaan dan pengetahuan, apa yang Gangubai lakukan menggambarkan bagaimana individu dapat mengambil alih narasi kehidupan mereka sendiri dan menggunakan pengetahuan untuk melawan kejadian.
Ia menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya berasal dari jabatan sosial atau politik, tetapi juga dari kemampuan untuk memahami dan memanfaatkan pengetahuan tentang realitas yang dihadapi.
Selain bagaimana kisah Gangubai ditinjau dari teori kekuatan dan pengetahuan, dari kisah itu juga dapat diambil satu pelajaran bagaimana Gangubai tidak hanya berpikir dan berjuang untuk dirinya sendiri. Tetapi juga memperjuangkan hak-hak perempuan lain yang terjebak dalam perdagangan manusia.
Dia membangun jaringan dukungan dan menciptakan ruang bagi perempuan untuk berbicara serta berjuang demi diri mereka sendiri, tidak lagi tunduk pada dalil-dalil yang justru menenggelamkan perempuan ke dalam jurang Kreasi. Sehingga dalam hal ini, Gangubai menunjukkan bahwa realitas kehidupan dapat digunakan sebagai alat pemberdayaan.
Sebagai penutup, meminjamkan sepenggal kalimat yang diucapkan Gangubai dalam pidatonya di pertemuan besar hak wanita, ia mengucapkan dengan lantang tanpa rasa takut sedikitpun untuk menunjukkan bahwa manusia yang dianggap tak bermoral sekalipun, lebih manusiawi dari pada yang mengaku bermoral.
Berikut adalah petikan kalimatnya “siapapun yang muncul di depan pintu kami, kami tidak pernah menghakimi mereka, itu prinsip kami. Kami tidak menanyakan apa agama mereka, suku mereka, kasta mereka, berkulit gelap, berkulit terang, kaya atau miskin, semua membayar yang sama. Jika kami tidak mendiskriminasi orang, kenapa orang mendiskriminasi kami?”.
Penulis : admin
Share Berita